Terdengar di telingaku lewat headset yang
aku pasang, alunan gending kawih sunda. Selaras dengan siang yang terik seperti
ini membuat kerinduan pada sesuatu. Rindu pada alam pasundan yang menghampar
luas beserta hiruk pikuk manusianya. Padahal aku sendiri masih berada di tanah
sunda, tapi rasa rindu itu suka datang tiba-tiba jika mendengarkan lagu-lagu
tentangnya. Tanpa alasan yang jelas.
“ku lucu malati, nu aya di taman-taman
sari...........”
Itulah lirik pertama yang aku ingat betul
sejak beberapa tahun yang lalu. Dulu kakekku sering menggumamkan kawih ini
padaku. Yang tergambar saat itu adalah aku sedang berada di dapur duduk di jojodog kecil depan hawu sambil membakar opak. Di samping
hawu ada si lutung, kucing peliharaan nenekku yang berwarna hitam kelam. Matahari
terik di luar terasa sampai kedalam karena pintu dapur di buka lebar. Berbaur dengan
hawa panas dari hawu yang kayunya sedang membara merah mengembangkan bulatan
opak yang kadang menitikan noda kehitaman jika segera tidak dibalik. Yang lebih
terasa lagi adalah wangi asap hawu yang mengepul naik ke para diselingi
kilatan sinar matahari yang masuk dari lawang pintu dapur menimbulakn kilauan
keemasan yang mengkilat, indah, membentuk lorong asap meninggi ke para
sampai menembus atap genting, terus ke atas sampai tidak terlihat. Dan saat itu
aku membayangkan kalau asap-asap itu akan terus naik ke langit berkumpul dengan
asap-asap dapur lain kemudian membentuk awan yang menurunkan hujan. Ketika itu aku belum bersekolah jadi
imajinasiku menyebar bebas tanpa ada batasan. Tidak logis namun menyenangkan. Kini
setelah belasan tahun berlalu. Di saat semuanya hanya berupa rindu saja tanpa
ada obatnya. Karena tidak akan ada suara merdu kakekku yang menyanyikan kawih
itu, tidak juga si lutung yang melingkarkan tubuhnya dipinggir hawu, bahkan
hawu tempatku membakar opak dulu sudah direnovasi sedemikian rupa. Juga tak ada
anggapan asap-asap menjadi awan yang menurunkan hujan karena aku sudah jadi
mahasiswa. Tak lagi ada tempat rinduku selain imajinasiku yang menyebar luas
tanpa memedulikan apapun yang ada disampingku sekarang. Untuk sejenak biarakan
aku sendiri tenggelam menyelami masa-masa indah dulu melewati lorong-lorong
waktu , memvisualisasikan apa yang aku lihat seperti apa yaang ada di hatiku. Seiring
gending kecapi ini biarkan aku sejenak membaur dengan rindu yang bergerak tanpa
batas dalam imajinasiku.
0 komentar:
Posting Komentar