Sabtu, 24 September 2011

Isola dan Cinta Pada Pandangan Pertama


Apa kau percaya kawan, kalau kita bisa jatuh cinta karena berawal dari sebuah lagu? Mungkin kedengarannya konyol sekali. Tapi itulah kenyataannya. Aku bisa menyukai sesuatu karena awalnya aku menyanyikan sebuah lagu daerah di acara porseni sekolah dasar. Judul lagu itu, Isola. Dulu, aku rasa tak ada yang istimewa dengan lagu ini. Ditambah lagi, karena ini lagu sunda asli, jadi ada banyak kata-kata yang kurang aku mengerti. Namun justru karena ketidakpahamanku saat itulah yang membuatnya nampak sangat misteri. Mungkin karena terlalu sering latihan menyanyikan lagu itu, aku jadi berpikir apa artinya, apa maksud lagu yang aku nyanyikan. Sebenarnya, kunci dari ketidaktahuanku itu adalah dari sebuah kata pokok, yaitu, isola. Apa itu isola? Sebuah namakah? Tempatkah? Makanan? Atau apa? Itulah yang selalu merambat dalam pikiranku tiap kali aku menyanyikannya. Sampai aku bertanya pada guruku, apa itu isola? Beliau hanya menjawab, isola adalah sebuah tempat. Baiklah, mungkin cukup jawaban itu untukku. Tapi aku merasa belum puas. Pikiranku kembali bertanya-tanya. Tempat apa? Kotakah? Desakah? Aku masih penasaran.
Saat porseni itu, aku baru kelas lima, sekitar  usia sebelas dua belas tahun. Sejak saat itu, tiap kali mendengar lagu isola, pasti pikiranku kembali bertanya-tanya. Mungkin saat SMP dan SMA aku tidak terlalu memedulikannya. Lagi pula aku sudah tidak menyanyikannya lagi. Tapi tetap saja ada, agak mengganjal dipikiranku. Sampai suatu ketika, saat kelas dua SMA, aku ikut lomba baca puisi yang diadakan oleh UPI di Bandung. Selesai lomba, aku dan satu temanku dari ciamis, berjalan-jalan keliling UPI. Temanku itu sering datang ke UPI ikut  mengantar ayahnya yang sedang studi S3. Jadi dia tahu betul daerah UPI. Hingga malam hari, aku dan temanku itu diajak pelatih puisiku nonton drama di gedung UKM UPI. Selepas nonton, dengan perasaan yang biasa-biasa saja, aku keluar berjalan pulang bersama temanku itu, sampai temanku berkata, “oh jadi gitu ya suasana isola malam hari.” badannya mengarah pada sesuatu yang tak jelas ku lihat tak jauh dari gedung UKM.  Apa? isola? hatiku bertanya. Pikiranku kembali pada pertanyaan semasa sekolah dasar dulu. “apa? Isola?” kutegaskan gumamanku tadi. “iya isola.” Jawabnya, “mana?” aku balik bertanya sambil memerhatikan arah pandanganku. “gedung itu.” temanku menunjuk pada bangunan tinggi yang nampak tak jelas karena disana juga banyak gedung kampus yang juga tinggi, “sebelah mana?” tanyaku lagi sambil menggerakan kepala kanan kiri dan menjinjitkan kakiku. “sudah malam, jadi kurang jelas, besok kita kesini lagi aja.” Ajak temanku sambil menarik lenganku pulang. Sementara kepalaku masih mencari-cari.
Isola. Sebelum tidur aku masih memikirkannya. Entah kenapa seperti ada luapan emosi tersendiri di dalam tubuhku. Dimana setelah bertahun-tahun menyimpan kepenasaranan ini, akhirnya akan terjawab juga, setidaknya temanku tadi sudah bilang, gedung itu, jadi bisa kusimpulkan bahwa isola adalah sebuah tempat, sebuah gedung.
Aku tak sabar pagi ini ingin segera ke isola. Aku melewati jalan-jalan dan suasana kampus yang rindang dan sepi karena saat itu masih sangat pagi. Lewat jalan yang sedikit menanjak dari arah gedung UKM semalam, mulai terlihat jelas sebuah bangunan tinggi putih itu. Semakin dekat, semain besar dan tinggi, semakin terasa aroma klasiknya. Jadi ini isola itu. Hatiku terus menerus bergumam seolah telah menemukan harta karun. Aku benar-benar mengaguminya sejak pertama kali melihatnya dari kejauhan. Dan aku benar-benar jatuh cinta pada saat itu juga, pada pandangan pertama.
“Isola ini tempat apa?” aku bertanya pada temanku sambil mengikutinya berjalan menuju tangga, dan kini aku menginjaknya, menyentuh temboknya. “ini gedung rektorat UPI.” kata temanku sambil mengarahkan handphonenya kearah kami, berfoto. Aku terus mengikuti langkah temanku. Mulut ini seolah menganga. Entah kenapa, entah apa. Aku langsung benar-benar mengagumi bangunan ini. Kami kearah depan gedung dimana terdapat kolam dan pohon besar juga tempat duduk dan terasa begitu sejuk dan teduh. “oh, ini rupanya bagian depannya, aku kira yang tadi.” aku tak hentinya berbicara, menerka-nerka, mengagumi. Bangunannya bulat melingkar, jadi sulit membedakan mana depan mana belakang, aku memberi kesimpulan ini karena terdapat kolam dan pohon besar juga bangku-bangku, dan mungkin karena lebih dekat ke jalan raya. Sejenak kami menikmati tamannya yang meski kelihatan kurang terurus. Sudah mulai banyak rumput liar, dan air kolam yang sedikit, entah ada ikannya atau tidak.  Tapi aku tetap mengaguminya. Setiap sudutnya, sekecil apapun, seburuk apapun aku mengaguminya. Lalu, temanku mengajakku kearah pagar dekat jalan raya, dan aku baru tahu, dan juga semakin menegaskanku bahwa ini isola bagian depan. Disana, ditembok putihnya itu, ada tulisan ‘Bumi Siliwangi’. Jadi, isola itu bumi siliwangi. Jadi maksud lagu itu…… aku kembali bergumam sambil menyanyikan lagu isola dalam hati, mencoba menerjemahkannya. Dan sekarang aku mengerti apa maksud lagu itu. Sekaligus tahu kenapa isola bagian dari komplek UPI.
“Isola….bumi siliwangi.
Liliwatan bandung-lembang.
Suku tangkuban parahu.
Ngabedega endah agreng sigrong.
Isola…..pada muru ti jauhna.
Kajojo sanusantara.
Kader-kader keur harepan bangsa.
Ti isola…. Mimitina.”
Begitulah aku menyanyikannya dulu. Menyanyi saja sesuai perintah tanpa tahu artinya dan menjadi beban pikiran selama bertahun-tahun. Dan hari ini, aku merasa bahagia sekali. Hatiku sungguh meluap-luap. Tak hentinya bibir ini merekah. Sesekali tertawa tanpa sebab sambil berlari kecil seolah aku tengah bercanda dengan temanku. Tapi tidak, aku sedang larut dalam bahagiaku sendiri, dimana hanya aku yang mengerti. Benar-benar kebahagiaan yang tidak bisa sembarang orang bisa memiliki. Hanya aku, hanya aku saja.
Mungkin itulah kisah cintaku  yang satu ini. Aneh bukan? Dan sungguh tidak dibuat-buat. Dan ada satu lagi rasa penasaranku yang belum habis pada isola bumi siliwangi ini. Suatu hari nanti, aku ingin masuk ke dalamnya, melihat apa isinya,bagaimana gaya arsitekturnya, naik ke lantai paling atas, yang  katanya, dari sana bisa kelihatan gunung tangkuban parahu. Juga merasakan keklasikan bangunannya yang dulunya adalah sebuah villa milik pengusaha Belanda yang dibangun pada awal abad ke 20 yang menjadi bukti nyata sebuah kemodernan, kekuasaan dan peradaban.

                                                                                                                                                                                                                                   









                                   

0 komentar:

Posting Komentar

 
;